Minggu, 20 Juni 2010

untuk andi

“Makna Kehidupan”

January 27th, 2010 by iroel09040052

Jika seseorang bertanya padamu apa makna kehidupan itu, jawaban seperti apakah yang hendak kau berikan? Beberapa hari lalu, seseorang yang sepertinya hidupnya penuh makna secara tak langsung mempertanyakan hal itu kepada saya. Bahkan ‘menantang’ untuk menggoreskannya dengan pena.

Menjawab ‘tantangannya’, saya tersenyum saja (yang tentu tak mampu ditangkapnya karena jarak memisahkan) meski syaraf-syaraf di kepala sepertinya langsung bekerja, ‘berlarian’ kesana kemari mengumpulkan data dari memori yang ada. Belum mendapat sebentuk gambaran, saya bertanya pada suami, mencoba mencari pertolongan. Namun alih-alih menjawab, suami saya yang termasuk tak pintar berkata-kata justru semakin menambah pusing kepala. Mencoba memaknai ‘makna kehidupan’ dengan pendekatan kamus, saya harus membuka dua kata. Kehidupan adalah hal, cara, yang berhubungan dengan hidup. Sedangkan makna yang saya temui di Kamus Besar Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai arti. Mengorek lebih dalam, saya membuka Tesaurus Bahasa Indonesia karangan Eko Endarmoko dan menemukan tiga kelompok kata di sana. Kelompok kata pertama mengartikan makna sebagai arti, pengertian, atau substansi. Sedang kelompok kedua adalah amanat, hikmah, moral, dan pengajaran. Kelompok kata terakhir adalah faedah, kegunaan, nilai, manfaat, dan signifikansi. Dari dua pengertian di atas, sudah terbantukah saya? Belum, malah bingung. Apa sebab? Karena dengan bantuan kamus tersebut, makin meluaslah makna kehidupan yang secara sederhana hendak saya cari jawabannya. Rentetan pertanyaan semakin panjang. Apa pengertian dari sebuah kehidupan? Apa hikmah yang bisa kita ambil dari kehidupan? Apa nilai-nilai kehidupan yang kita dapatkan dan bagikan? Apa manfaat kita dihidupkan? Apa signifikansi dari kehidupan kita diciptakan? Bla bla bla…Rentetan itu, pada ujungnya mempertanyakan hubungan Tuhan-manusia, manusia-manusia, dan manusia-semesta alam.

Menemukan banyak pertanyaan amat lah mengasyikkan, menantang. Namun kadang, ada beberapa hal yang hanya mampu kita temukan jawabannya tanpa kata, dalam keheningan. Maka, mencoba heninglah saya… Maka, mencoba membacalah saya akan makna kehidupan di mata orang-orang. Seorang Romeo, merasa hidupnya tak lagi bermakna manakala Juliet yang amat dicintainya didapati meninggal—meski kenyataannya hanya sandiwara.

Seorang Romeo dan Juliet menyandarkan makna hidupnya pada cinta dan kehadiran orang yang dicintainya. Meski hanya cerita dari seorang maestro bernama Shakespeare, bahkan hingga di jaman teknologi seperti sekarang, penyandaran makna hidup pada cinta haru biru seperti itu masih tetap ‘dilestarikan’. Makna hidup bagi seorang bunda Teresia lain lagi. Beliau rela ‘menggadaikan’ hidupnya sendiri demi menolong kaum papa. Di mata seorang koruptor, hidup menjadi penuh makna manakala dia berhasil menimbun sekian banyak harta. Tak peduli jalan yang ditempuhnya menabrak makna (baca: nilai-nilai luhur) kehidupan itu sendiri. Proses pencarian nabi Ibrahim akan Tuhannya mungkin adalah proses penemuan makna hidup yang paling spektakuler. Keluar dari mainstream pemikiran masyarakat di jamannya, Ibrahim kecil mempertanyakan banyak hal.

Tentang penciptaan semesta, tentang adanya Dia, siapa Dia, siapa dirinya, serta hubungan Dia dan dirinya, diri kita. Yah, pertanyaan sekaligus jawaban akan makna kehidupan bagi saya memang takkan pernah menemukan kalimat sederhana. Namun saya sedikit terbantu juga saat mendengarkan pengajian di radio Dakta. Ustadz Anwar Anshori (kalau tidak salah) menyampaikan kira-kira begini: Allah mencipta manusia, semesta tentu ada maksudnya. Dan hanya Dia yang tahu persis jawabannya. Seperti halnya jawaban mengapa kita dilahirkan putih, hitam, sipit, belok, kriting, lurus, idiot, pintar, mancung, pesek, dan sebagainya. Namun Dia pula pemberi kebebasan kita untuk memilih jalan yang diistilahkan sebagai mukhoyyar. Sedang yang berketetapan baku di atas diistilahkan musayyar (mohon dikoreksi kedua penulisannya). Entah jalan bengkok bercabang atau lurus yang kita pilih nantinya, Dia telah membekali kita akal untuk membedakan. Makna kehidupan, kalau boleh saya analogikan adalah sebuah taman untuk menciptakan sebentuk harmonisasi keindahan. Ada begitu banyak perbedaan, sekaligus tak sedikit persamaan. Ada yang memberi arti kehidupannya dengan kebaikan, wangi, namun ada yang memaknainya dengan peran jahat, amis. Ada yang menjadi mawar merah merekah mengundang decak kekaguman, namun ada pula yang cukup menjadi rumput, terinjak di bawah kasut. Apapun, bagaimanapun, siapapun dia, hidupnya mengandung makna. Hatta seorang pencopet di pasar, kehadirannya bermakna (baca: mengandung arti) bagi anak istrinya, sekaligus bermakna (baca: mengajarkan kewaspadaan, ketidaklengahan) bagi orang korbannya. Apalagi jika dia adalah seorang kepala Negara, yang berwenang menentukan ‘nasib’ bangsanya. Atau seorang Hatta Rajasa yang tengah pusing kepala dengan musibah transportasi yang mendera. Lalu, apa hikmah yang hendak disampaikan dengan musibah beruntun menimpa kita? Hendaklah tanggap ing sasmita, paham, akan peringatan dari langit. Bahwa bagaimanapun cara kita memberi makna pada kehidupan kita, haruslah berjalan di relnya. Bebas memilih kanan atau kiri, bengkok atau lurus, amis atau wangi, namun hendaknya tak lepas dari rambu yang telah diberikan-Nya.

Malaka Sari, 8 maret ’07 10:54 Indarpati Yang masih mencoba memaknai kehidupannya dengan wangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar